Bitung, Zona-akurat.com — Sambil mengangkat tangan ke langit dan spanduk ke udara, ratusan nelayan di Bitung memanjatkan doa dengan suara yang lebih keras dari mesin kapal berbendera asing.
Mereka berkumpul bukan untuk menjemur jala, melainkan menjemur aspirasi yang selama ini basah oleh air mata ketidakadilan.
Aksi mereka bukan sekadar orasi. Ini adalah liturgi perlawanan. Sebuah gerakan kelautan di depan kebijakan yang semakin absurd.
Stenly Sendouw, Ketua Umum Brigade Nusa Utara Indonesia, dalam gaya khasnya menyampaikan:
“Kalau pemerintah terus begini, mungkin laut bukan lagi tempat mencari ikan, tapi tempat menyebur cari keadilan.”
Ia lalu menambahkan dengan mimik serius nan lirih:
“Kami bukan nelayan biasa. Kami adalah anak laut yang dijajah bukan oleh penjajah, tapi oleh regulasi.”
Tuntutan nelayan? Cuma empat. Tapi berat, karena yang dihadapi bukan monster laut, melainkan birokrasi berlapis-lapis seperti kulit bawang.
Tolak kapal asing. Karena bukan cuma ikannya yang diambil, tapi juga harapan.
Tolak zonasi laut. Karena laut bukan peta puzzle yang bisa dibagi seenaknya.
Baca juga: Tokoh Muda Nusa Utara Jagokan CEP Harga Mati, Calon Tunggal di Musda Golkar
Perluas WPPNRI. Karena laut Indonesia itu luas, asal tidak dipagari pakai Peraturan Menteri.
Hapus VMS bagi nelayan kecil. Karena nelayan bukan mafia narkoba yang harus dilacak pakai GPS 24 jam nonstop.
Mario Mamuntu, Koordinator Aksi sekaligus Panglima Ormas Adat Brigade Nusa Utara Indonesia (BNUI) Kota Bitung, bicara lantang:
“Kami nelayan, kami rakyat, dan kami bagian dari adat yang hidup berdampingan dengan laut. Tapi hari ini kami merasa jadi tamu di laut sendiri. Jangan paksa kami mengemis di tanah yang kami warisi!” ucapnya.
Sementara itu, Andry Lawidu, SE., SH, Ketua Harian Ormas Adat Brigade Nusa Utara, menyuarakan dengan keresahan yang lebih dalam.
“Jangan anggap kami hanya nelayan dengan perahu kecil. Di balik sampan itu, ada budaya, ada sejarah, ada kehormatan. Regulasi yang menyingkirkan kami bukan cuma merusak mata pencaharian, tapi menghina identitas,” sebutnya.
Aksi mereka menyebar di tiga titik: Kantor Walikota, PPS Bitung, dan PSDKP.
Sekda Bitung, Rudy Theno, yang hadir seperti cameo dalam film dokumenter perjuangan ini, berkata penuh pengertian: “Kami mendukung, tapi tetap berharap semua bisa berjalan secara berjenjang.” Komentar ini seperti GPS yang mutar-mutar tapi nggak pernah sampai ke tujuan.
Dan ketika di PSDKP, aspirasi diarak masuk ke ruang pertemuan seperti korban upacara adat, Erik Lesmana dari PPS Bitung berkata: “Akan kami sampaikan ke pimpinan, dan semoga sesingkat-singkatnya bisa ditindaklanjuti.”
Satu-satunya hal yang singkat adalah kesabaran para nelayan. Stenly Sendouw kembali menutup pernyataan dengan gaya khasnya:
“Kalau kami tak didengar hari ini, besok jangan salahkan kalau ombak berganti jadi gelombang aksi nasional.”
Dan itu bukan ancaman, tapi nubuatan yang disampaikan oleh hati yang sudah muak jadi penonton di negeri sendiri. (stenly.