Indonesia di Tengah Kepungan Tarif Trump

Manado, Zona-akurat.com – Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menerapkan tarif resiprokal terhadap lebih dari 180 negara-termasuk Indonesia bukan sekadar langkah ekonomi sepihak. Ini adalah sinyal kuat bahwa proteksionisme kini kembali duduk di kursi kekuasaan, dan dunia harus siap menanggung risikonya.

Ketika Wall Street kehilangan nilai lebih dari Rp 82.800 triliun dalam waktu singkat, pesan yang terbaca jelas: tidak ada yang kebal dari dampak kebijakan ekonomi yang diambil tanpa pertimbangan kolektif.

Indonesia, yang selama ini tengah membangun kembali kekuatan ekspornya pascapandemi, kini menghadapi ancaman nyata. Tarif 32% yang dibebankan oleh AS terhadap produk Indonesia bukan hanya akan menekan daya saing, tetapi juga berpotensi melemahkan sektor manufaktur yang sedang tumbuh. Komoditas unggulan seperti tekstil, alas kaki, hingga barang elektronik kini berada dalam bayang-bayang ketidakpastian.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah Indonesia tak bisa hanya bersikap reaktif. Diplomasi dagang harus dilipatgandakan, tidak hanya ke Washington, tetapi juga ke negara-negara mitra dagang lain yang bisa menjadi substitusi pasar. Lebih dari itu, kita perlu bertanya: sudah seberapa siap Indonesia jika arsitektur dagang global benar-benar berubah wajah?

Baca juga: Di Balik Hening Katedral, Doa Presiden Mengiringi Sang Uskup Pulang  

Perang tarif yang dilancarkan Trump bukan sekadar soal angka. Ini adalah bentuk baru dari dominasi unilateral yang mengancam tatanan perdagangan internasional yang selama ini dijaga bersama. Ketika Tiongkok membalas dengan tarif serupa, dunia menjadi medan tempur ekonomi. Negara berkembang seperti Indonesia kerap menjadi korban tak langsung terjebak di antara dua kekuatan tanpa ruang negosiasi yang memadai.

Editorial ini menggarisbawahi bahwa kita butuh lebih dari sekadar reaksi. Kita butuh strategi jangka panjang: memperkuat pasar domestik, mempercepat hilirisasi industri, dan mendiversifikasi mitra dagang agar tidak terlalu bergantung pada satu kutub ekonomi. Dunia tidak lagi dapat mengandalkan sistem multilateral yang lemah terhadap arogansi kekuasaan dagang.

Indonesia tidak boleh diam. Dalam dunia yang makin tidak pasti ini, diam sama artinya dengan menyerah.

(stenly beteng). 

Related posts