Manado, Zona-akurat.com – Jumlah penduduk Indonesia terus mengalami lonjakan. Berdasarkan data semester I-2025 yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri, populasi nasional kini mencapai 286.693.693 jiwa. Namun di balik angka tersebut, muncul sebuah catatan serius yang bisa menjadi bom waktu sosial: ketimpangan jumlah laki-laki dan perempuan.
Per semester I-2025, jumlah laki-laki di Indonesia melebihi perempuan sebesar 2,6 juta jiwa. Ketimpangan ini bukan sekadar ketidakseimbangan statistik, melainkan potensi krisis sosial jangka menengah jika tidak dikelola dengan kebijakan yang tepat.
“Pembangunan kependudukan menjadi kunci yang tidak bisa diabaikan, apalagi jumlah penduduk terus bertambah,” ujar Dirjen Dukcapil Teguh Setyabudi dalam peluncuran Desain Besar Pembangunan Kependudukan (DBPK) 2025–2045, Jumat (11/7/2025).
Baca Juga: Akademisi Kuatir, Ekonomi RI Melemah Sudah Terbaca Lama Tapi Dibiarkan
Jutaan Pria Berisiko Tidak Menikah
Fenomena kelebihan populasi laki-laki ini disebut sebagai “gender imbalance pressure”, yakni tekanan sosial akibat ketidakseimbangan peluang pernikahan, terutama di kelompok usia produktif.
Menurut data BPS dan catatan akademisi demografi, lebih dari 2,6 juta pria Indonesia berpotensi tidak menemukan pasangan hidup, baik karena faktor jumlah, ekonomi, maupun sosial-budaya.
“Ini mirip seperti yang terjadi di Tiongkok dan India satu dekade lalu. Ketika jumlah laki-laki melebihi perempuan secara drastis, muncullah ‘generasi kesepian’ yang akhirnya berdampak ke psikologi sosial dan struktur keluarga,” ungkap Dr. Herlina Wulandari, peneliti demografi dari Universitas Padjadjaran.
Baca Juga: Prabowo Bongkar 5 Warisan Jokowi, Gibran ‘Dipinggirkan’, Mega Didekati
Turunnya Angka Pernikahan dan Fenomena ‘Bachelor Belt’
Badan Pusat Statistik sebelumnya mencatat angka pernikahan di Indonesia turun 7,2% sepanjang 2024. Di saat yang sama, populasi laki-laki lajang usia 25–39 tahun mengalami kenaikan signifikan. Beberapa kota industri bahkan mulai disebut sebagai “sabuk bujangan” karena dominasi laki-laki yang tak menikah, seperti di Karawang, Batam, dan Balikpapan.
Faktor ekonomi juga memperparah situasi. Laki-laki dari kelas ekonomi bawah atau pekerja informal dianggap semakin sulit bersaing dalam mencari pasangan, terutama di wilayah urban yang makin kompetitif.
“Jika 2,6 juta laki-laki tak mendapat pasangan, ini bukan hanya masalah pribadi, tapi masalah demografis, sosial, bahkan ekonomi. Indonesia harus menyiapkan masyarakat yang seimbang secara gender dan berkelanjutan secara sosial,” tegas Herlina. (ly).