Manado, Zona-akurat.com – Dua puluh tujuh tahun setelah badai reformasi mengguncang negeri, nama Tim Mawar kembali bergema bukan lagi di lorong-lorong gelap penyekapan, melainkan di ruang-ruang kekuasaan strategis pemerintahan.
Tim kecil dari Kopassus Grup IV TNI AD yang pada 1998 dikenal sebagai dalang penculikan aktivis pro-demokrasi, kini para alumninya menempati posisi elite di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Dulu mereka disebut bayangan negara, kini mereka menjelma menjadi bagian resmi negara. Salah satunya, Kapten Yulius Selvanus, perwira yang dulu ikut dalam operasi penculikan aktivis, kini menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Utara.
Bukan hanya Yulius. Sejumlah nama lain dari lingkaran Tim Mawar juga ikut menanjak. Djaka Budi Utama kini dipercaya sebagai Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan. Nugroho Sulistyo Budi memimpin Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Sementara Chairawan Kadarsyah Kadirussalam Nusyirwan dan Untung Budiharto bahkan menerima pangkat kehormatan jenderal bintang tiga langsung dari Presiden Prabowo.
Namun, langkah rehabilitasi dan promosi bagi para eks Tim Mawar sejatinya bukan hal baru. Jejaknya sudah tampak sejak era Presiden Joko Widodo, ketika Prabowo masih menjabat Menteri Pertahanan (2019–2024).
Saat itu, melalui Keppres RI Nomor 166/TPA Tahun 2020, dua nama muncul kembali dari catatan kelam masa lalu: Brigjen TNI Yulius Selvanus dan Brigjen TNI Dadang Hendrayudha. Keduanya diangkat menjadi pejabat strategis di Kemenhan, Yulius sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan, Dadang sebagai Dirjen Potensi Pertahanan.
Langkah-langkah pengangkatan ini mengundang perdebatan tajam. Bagi sebagian pihak, ini adalah tanda “pemulihan” dan “penghormatan” atas loyalitas lama. Namun bagi kalangan akademisi dan aktivis, ini justru mengaburkan batas antara rekonsiliasi dan glorifikasi masa lalu.
“Prabowo terlalu jauh, terlalu vulgar dalam bagi-bagi kekuasaan,” kritik Prof. Muradi, pengamat militer dari Universitas Padjadjaran dikutip dari kompas.
Menurutnya, penempatan eks Tim Mawar di posisi kunci adalah tindakan simbolik yang bisa mencederai ingatan sejarah.
“Tidak etis menempatkan mereka di garda depan. Banyak prajurit lain yang lebih pantas, tapi tak dekat dengan lingkaran kekuasaan,” ujar Muradi.
Namun bagi Prabowo, barangkali ini adalah bab penebusan, atau pelunasan utang budi terhadap mereka yang “pernah satu barisan.” (ly).